POLITIK - Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh perjuangan, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan. Dalam kurun waktu lebih dari 350 tahun, bangsa ini berada di bawah kekuasaan asing, terutama Belanda melalui perusahaan dagangnya, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang sering kita kenal sebagai "Kumpeni". Ironisnya, Kumpeni ini bukan sekadar perusahaan dagang biasa, melainkan sebuah perusahaan yang memperoleh hak istimewa dari Belanda untuk menguasai wilayah, berdagang, bahkan mendirikan pemerintahan di tanah Nusantara. Selama 3, 5 abad itu, kekayaan alam Indonesia diangkut ke Eropa, dan penduduk pribumi terpaksa tunduk pada aturan yang sering kali sewenang-wenang.
Selama masa itu, Indonesia seperti dipermalukan di negerinya sendiri. Tanah yang kaya ini seakan-akan tidak lagi menjadi milik bangsanya. Rakyat pribumi hanya menjadi penonton atau bahkan pelayan di rumah sendiri. Mereka bekerja di bawah kendali tuan tanah dan saudagar-saudagar asing yang memaksakan aturan keras. Mereka yang melawan akan ditindas; mereka yang patuh hidup dalam kemiskinan yang ditopang oleh janji-janji palsu. Setiap kali ada yang mencoba bangkit, pemberontakan segera dipadamkan dengan kekuatan militer yang tak seimbang.
Namun, seiring waktu, muncullah kesadaran nasional yang menuntun rakyat untuk berjuang demi kemerdekaan. Setelah melalui berbagai rintangan, pada akhirnya, kemerdekaan pun diraih pada tahun 1945. Seluruh rakyat bersorak, berpikir bahwa kini negeri mereka, kekayaan mereka, dan tanah air mereka kembali ke tangan yang berhak, yaitu rakyat Indonesia sendiri. Akan tetapi, sejarah seperti berulang dengan wajah yang berbeda.
Dalam kurun waktu 79 tahun setelah kemerdekaan, muncul kekuatan baru di Indonesia, oligarki. Mereka bukan lagi penjajah dari seberang lautan, melainkan sesama anak bangsa yang memiliki kekuasaan, uang, dan pengaruh. Dengan kendali yang kuat atas sektor ekonomi dan politik, oligarki ini perlahan-lahan menjadi pengendali kebijakan negara. Mereka memegang kekuasaan yang hampir absolut, meski di balik layar. Keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak sering kali ditentukan oleh kepentingan segelintir orang ini, bukan oleh rakyat banyak.
Keadaan ini mirip dengan penjajahan dalam bentuk yang lebih halus, bahkan mungkin lebih berbahaya. Mengapa? Karena dalam sistem oligarki, kendali itu tidak selalu tampak secara kasat mata. Mereka ada di balik regulasi yang dibuat, di balik proyek-proyek besar yang menguntungkan mereka, dan di balik kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat tetapi justru memperkaya para elite. Jika dahulu rakyat tahu siapa yang menjajah mereka, kini penjajahan ini sulit disadari karena dilakukan oleh mereka yang sebenarnya sebangsa dan setanah air. Rakyat seolah diatur dan dimanfaatkan dalam lingkaran kekuasaan yang tak terlihat, tanpa menyadari bahwa mereka sesungguhnya masih dalam genggaman sistem yang menindas.
Kenyataan ini membuka mata kita pada tantangan baru Indonesia di era modern. Meski bebas dari kekuasaan kolonial secara fisik, Indonesia tampaknya masih terjerat dalam cengkeraman kekuasaan elite yang tak kalah mengekang. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana masyarakat bisa membebaskan diri dari kekuasaan oligarki, agar cita-cita kemerdekaan yang sejati dapat benar-benar terwujud: yaitu kemerdekaan yang tidak hanya berarti bebas dari penjajahan asing, tetapi juga terbebas dari kendali segelintir elite yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Indonesia yang pernah dipermalukan oleh penjajah asing kini kembali diuji oleh kekuatan dari dalam, yaitu mereka yang tak tahu malu dan memanfaatkan posisi untuk mengatur, memanipulasi, dan menguasai negeri ini demi kepentingan pribadi. Meski demikian, harapan masih ada selama rakyat tetap bersatu dan menyadari pentingnya memperjuangkan keadilan dan pemerataan.
Jakarta, 02 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi
Baca juga:
Tony Rosyid : Siapa Dibalik Partai Prima?
|